About Me

header ads

BKH DI ANTARA FAKTA PENGUSIRAN TANPA REKAMAN DAN STRATEGI PENGACARA MEMBURU ‘DAGING EMPUK’

(Oleh: Deni Sijegal – Pengamat Sosial asal Alok, Maumere)  



Topik pengusiran Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K. Harman (BKH) di Restoran Mai Cenggo di Jalan Alo Tanis - Labuan Bajo, pada Selasa (24/5/2022) masih ramai diperdebatkan. Topik ini tidak hanya dibahas di media-media sosial dan konvensional, tapi juga dibahas di tempat perkumpulan arisan, di tempat pesta nikah, di rumah-rumah tempat doa rosario, dan bahkan di tempat orang meninggal.  Ramainya orang mengerubuti isu ini bukan karena lokus-nya yang terjadi di tempat wisata super premium, bukan juga karena nama restoran yang terkesan menggunakan local wisdom tapi bermental rakus. Melainkan karena ada dugaan sebuah bintang paling terang dari bumi Flobamora jatuh di hamparan taman anak-anak. Para bocah merasa mudah menyentuh dan menangkapnya. Pengacara dan politisi di lembah kurcaci langsung sigap, pikirnya, ini daging empuk, tak sabaran mau melahap. Aji mumpung!

Kejadian sudah berhenti ketika karyawan restoran Mai Cenggo, Rikardo, mengaku bersalah karena telah mengusir BKH dan keluarga dari dalam ruangan VIP ber-AC. Rikardo sadar telah menyalahi etika pelayanan dan prinsip kesantunan. Rikardo paham bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang tidak patut untuk diekspresikan. Rikardo menyesal dan meminta maaf atas kelancangannya. 

Ketika mukanya didorong, Rikardo tidak melawan karena dia benar-benar sadar telah melakukan tindakan tidak patut yang berpotensi merusak citra restoran. Rikardo merasa bahwa dorongan tangan ke mukanya bernilai sepadan dengan kerusakan harga diri korban. Dia juga memaklumi ekpresi kesal pengunjung yang baru datang dan langsung meninggalkan restoran, setimpal dengan penghinaan dan diskriminasi yang telah dia lakukan. 

Selanjutnya, begitu korban pergi menginggalkan restoran, Rikardo merasa persoalan sudah selesai. Yang berarti masa depannya tetap aman di restoran, dan reputasi restoran tidak tercoreng. 

Aneh bin ajaib, sikap Rikardo yang tadinya ketakutan seperti tikus basah, dua hari kemudian menjelma menjadi seperti kodok jantan dalam priuk hangat. Rupanya ada percikan api yang dinyalakan pengacara dan politisi di tungku Rikardo. 

Rikardo membuat laporan ke polisi atas dugaan tindakan kekerasan. Ia didorong-dorong ke jalur hukum untuk menyelesaikan masalah yang dianggapnya sudah tundas.  Di jalur inilah, Rikardo mengalami blindness (kebutaan), tidak menyadari bahwa dia hanya menjadi wayang di tangan para dalang. Rikardo tidak melihat bahwa dia hanya obyek mainan pengacara pemburu rente dan politisi sengkuni. 

Di tangan mereka, kasus pengusiran BKH, langsung dikanalisasi dalam saluran politik. Politik dalam artinya yang paling brutal adalah seni mencincang isu. Isu pengusiran dibalik menjadi isu penamparan. Dikotomi oposisi-koalisi di tingkat nasional, langsung dibawa ke etalase lokal. BKH dibawa ke pengadilan kurcaci-kurcaci imut.

Isu dugaan penamparan menjadi seperti air di kubangan para cebong yang ramai-ramai memilih untuk menjadi pengacara Rikardo. Mereka mengendalikan permainan dengan sangat kasar! Titik starnya mengedit video rekaman CCTV. Rekaman CCTV tentang tindakan pihak restoran mengusir BKH dan keluarganya diumpet dan tidak diedarkan. Sedangkan bagian yang diedar ke publik adalah yang berisikan tindakan yang diduga berisikan penamparan. Mereka mencari energi tambahan melalui dukungan publik. Nalar publik direcoki dengan informasi hasil editan, sembari berharap publik menghakimi BKH. 

Mereka cincai kasus ini sambil berharap pada dua hal. Pertama, keuntungan ekonomi yang bisa didapatkan dengan berkompromi untuk menghentikan kasus. Caranya, mereka menciptakan satu standar tinggi sehingga kasus ini terkesan bernilai tinggi dan selanjutnya dalam kompromi akan dibayar tinggi. Mereka berharap agar pihak lawan dalam perkara ini meminta supaya kasus tidak dilanjutkan. Artinya, kalau mau agar kasusnya dihentikan, harus disertai dengan kompensasi cuan segunung. Kedua, keuntungan politis. BKH adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan rezim penguasa saat ini. Kritik-kritik BKH terhadap rezim sangat tajam, berbobot, dan kebenarannya sulit dibantah. Selama ini mereka sulit menemukan kesalahan politisi Partai Demokrat itu. Begitu melihat peluang, mereka langsung manfaatkan, sembari berharap popularitas para kurcaci itu meningkat dan partainya terdongkrak. 

Lain lagi cara pengacara seperti Petrus Salestinus yang coba mengambil keuntungan dari kasus pengusiran BKH di Restoran Mai Cenggo. Petrus menulis opini berjudul “BKH di Antara Fakta Penganiayaan di CCTV dan Klarifikasi Memutarbalikkan Fakta” yang dimuat di media Rakyatntt.com pada 28/05/2022. Dari judulnya saja, tulisan ini jelas mendiskreditkan BKH. Dan memang maksudnya seperti itu. Diduga Petrus menekan BKH agar mendapatkan penilaian positif dari pemilik restoran Mai Cenggo. Jika seandainya pemilik restoran Mai Cenggo ikut terseret dalam pusaran kasus pengusiran ini, maka Petrus bisa mereka pilih sebagai pembela. Petrus bisa dianggap sudah menyiapkan dalil-dalil sapu jagat.

Kritik Petrus terhadap BKH hanya didasarkan pada video rekaman CCTV yang jelas-jelas merupakan hasil editan. Rekaman CCTV tidak ditampilkan secara utuh. Bagian CCTV yang memperlakukan BKH secara diskriminatif dihilangkan. Sementara rekaman CCTV yang diduga berisi penamaparan diedarkan. Bagian CCTV yang berisikan perendahan martabat BKH yang tidak lain merupakan SEBAB/PEMICU lahirnya tindakan yang diduga penamparan, tidak diedarkan atau disembunyikan. Petrus dan publik lainnya hanya menerima video yang diduga berisikan penamparan, yang tidak lain merupakan AKIBAT dari tindakan yang pertama. Dengan hanya menonton hasil rekaman pada bagian AKIBAT, posisi BKH sebagai korban perlakuan diskriminatif diubah menjadi pelaku dugaan penamparan. Seharusnsya dinilai secara komprehensif, bahwa tindakan merendahkan martabat dan dugaan tindakan penamparan merupakan dua peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Keduanya terikat satu sama lain. Tindakan pertama, perlakuan diskriminatif, merupakan pemicu lahirnya tindakan kedua, dugaan penamparan. Polisi ketika menangani kasus ini harus melacak SEBAB terjadinya tindakan. Bobot motiv tindakan seringkali sepadan dengan konten tindakan.  

Memangnya kalau video rekaman ditampilkan secara utuh, apakah perlakuan yang diduga penamparan dapat dibenarkan? 

Mari kita lihat argumentasinya. Negara-negara yang menganut sistem demokrasi menempatkan prinsip kebebasan dan kesetaraan berada di jantung demokrasi. Artinya, kebebasan dan kesetaraan merupakan nilai hakiki yang melekat secara inheren dalam demokrasi itu sendiri. Pelanggaran atas prinsip kebebasan dalam negara yang menganut sistem demokrasi dapat dibenarkan kecuali untuk menyelamatkan kebebasan yang lebih luas. Artinya ada derajat dalam kebebasan. Ketika kebebasan yang lebih luas terancam dihapus, maka penggunaan kekerasan tidak dapat ditolak. 

Memangnya, apa kebebasan yang lebih luas dan lebih sempit dalam kasus dugaan penamparan di restoran Mai Cenggo? Kebebasan yang lebih luas berisikan hak-hak dasar dan perlakuan yang manusiawi terhadap setiap orang dari latar belakang apapun. Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap orang memiliki kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama diberikan kepada tiap-tiap orang. Artinya dalam kebebasan dasar yang paling luas, setiap orang adalah sama. 

Tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pihak restoran terhadap BKH dan keluarganya merupakan bagian dari pencampakan nilai-nilai kebebasan dasar yang paling luas itu. Bukan hanya karena BKH itu sebagai anggota DPR-RI, tetapi kebebasan yang sama melekat pada tiap-tiap orang apapun latar belakangnya. Tindakan yang dilakukan oleh pemilik restoran adalah mau mengeliminasi kebebasan-kebebasan dasar itu dengan nilai-nilai ekonomi. Keuntungan ekonomi yang didapat dari pengunjung yang diduga lebih banyak, digunakan sebagai instrument untuk mendiskriminasi orang yang berpenampilan lusuh, pake celana pendek, dan baju kaos.  Artinya harkat dan martabat yang melekat dalam kebebasan-kebebasan dasar subyek berpenampilan lusuh itu, dicampakkan demi mendapatkan keuntungan ekonomi. 

Subyek yang kehilangan kebebasan-kebebasan dasar itu kemudian melakukan perlawanan. Perlawanan yang dilakukan oleh subyek yang kebebasannya dirampas, adalah dengan melakukan tindakan yang diduga berisikan penamparan. Artinya, si subyek melakukan kekerasan untuk menyelamatkan kebebasan yang lebih luas. Logika sederhananya begini. Ketika ada satu kelompok yang kebebasan-kebebasan dasarnya dirampas oleh penguasa yang kuat, maka kekuasaan atau kekuatan yang lebih besar dapat dikerahkan untuk melucuti pelaku perampas kebebasan dasar. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan kebebasan yang lebih luas dan untuk mewujudkan prinsip penghormatan yang setara kepada tiap-tiap orang. 

Simak baik-baik apa yang ditulis oleh Petrus Selestinus, “…BKH tidak punya karakter ringan tangan dan temperamental”. BKH adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Dia tidak memiliki catatan tercela terkait penegakan Hak Asasi Manusia. BKH paham betul bahwa cara untuk meyelamatkan harkat kemanusiaan yang dirampas adalah dengan menggunakan kekuatan yang lebih besar. Tidak ada cara lain! Kalau membiarkan saja perilaku perendahan itu terjadi, maka akan lahir sistem perendahan yang terlembaga. BKH memutuskan rantai yang tersistem itu. 

Kendati demikian, dugaan penamparan yang dilakukan BKH tidak bisa disamakan begitu saja dengan penamparan yang dilakukan Wakil Bupati Manggarai Barat (Politisi PDIP), Maria Geong terhadap sopir angkot di Labuan Bajo pada Oktober 2016 lalu. Dugaan penamparan yang dilakukan BKH itu untuk menyelamatkan harkat kemanusiaan yang dirampas atau membela kebebasan yang lebih luas. Sedangkan yang dilakukan politisi PDIP itu adalah menampar sopir angkot hanya karena bunyi kendaraan sopir itu terdengar keras. Sopir angkot adalah representasi wong cilik, dan tagline partai yang dibela Wakil Bupati tahun 2016 itu adalah membela wong cilik. Alih-alih mau bela, yang terjadi justru memperlakukan wong cilik seperti anjing kudisan. 

Dugaan penamparan yang dilakukan BKH juga tidak bisa disamakan dengan penamparan yang dilakukan anggota Komisi III DPR RI, Herman Hery terhadap Rony Yuniarto, sopir kendaraan di Jakarta pada Juni 2018. Mobil Roni dan mobil Herman Hery sama-sama masuk jalur busway, jalur yang dilarang bagi pelintas selain Transjakarta. Roni protes tindakan polisi yang menilang mobilnya karena melanggar jalur, sedangkan mobil Herman Hery (politisi PDIP) yang melanggar jalur tidak ditilang. Akibat protes itu Herman Hery keluar dari mobil lalu menampar Roni. Ketika Roni mau melawan semua pengawal Herman Hery keluar dan menggebuk Roni. 

Tindakan Herman Hery memukul Rony kental dengan nada dasar premanisme, sedangkan dugaan penamparan yang dilakukan BKH adalah untuk memutus mata rantai dehumanisasi. 

Pertanyaan mengapa pengacara dan politisi lebih perhatian pada kasus dugaan penamparan oleh BKH, itu terjadi karena nilai politik dan ekonominya sangat tinggi. Hukum diperalat untuk meraih keuntungan ekonomi dan mendongkrat popularitas. Salam Waras!!!