Oleh : Muhammad Rifai
Tokoh Muda Lamaholot Lembata
Belis dalam adat perkawinan masyarakat Lamaholot memiliki kedudukan yang Sangat penting. Kesepatan terkait dengan belis dan kewajiban adat lainnya ikut menentukan jalan dilangsungkannya sebuah perkawinan. Dengan demikian, legalitas perkawinanHy dalam prespektif adat Lamaholot juga sangat ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan terkait belis di forum adat.
Konstruksi adat Lamaholot terkait belis, secara tidak lansung ikut memberikan kontribusih menempatkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua. Tidak beda halnya dengan prilaku dan tradisi jahilia sebelum datangnya Islam yang dibawah oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Adat Lamaholot justru menempatkan kaum laki-laki pada posisi yang sangat istimewa. Nampak jelas, hegemoni patriarkis ini memberikan ruang yang sangat besar kepada kaum Adam sebagai pemegang kekuasaan utama, baik itu dalam urusan belis maupun hak waris atas anak. Pandangan dan Pemikiran seksis ini telah mengkristal dan mengakar kuat sejak berabad tahun yang lalu.
Untuk urusan belis, argumentasi yang dibangun oleh para leluhur Lamaholot "tempo doloe" adalah belis merupakan bentuk ungkapan terima kasih secara simbolik dari pihak pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan. Argumentasi ini tidak sepenuhnya benar dan relevan dengan kondisi kekinian, kalau kita secara jujur melihat proses adat yang selama ini terjadi di tanah Lamaholot. Proses adat yang harusnya menjadi ruang sakral, justru tergerus dan kehilangan makna sakralitasnya. Bergeser masuk dan terjebak dalam logika pasar. Anak perempuan kemudian dianggap memiliki nilai komersil. Hal ini tidak dapat kita bantah dengan melihat kenyataan yang ada bahwa ada tawar menawar di forum adat Lamaholot terkait besaran dari nilai sebuah belis. Fakta lain yang ikut menguatkan argumentasi ini adalah konstruk adat yang menjadikan gading sebagai belis telah terdistorsi dan dikonversi dengan menggunakan uang dan material laiinnya.
Ulfa Cahaya Ningrum (2016:23), menyebutkan bahwa, selain memiliki dampak positif, pemberian belis juga memiliki dampak negatif terhadap kaum perempuan dengan indikator terukur dan penjelasan yang cukup rasional, diantaranya: 1. Martabat wanita direndahkan. Dengan pemberian belis, pihak pria merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga wanita kurang dihargai dalam hidup berumah tangga. 2. Pihak laki-laki merasa malu. Jika pihak pria tidak mampu membayar belis maka pria akan tinggal di rumah dikeluarga wanita. 3. Pertentangan diantara kedua keluarga. Jika pihak pria tidak mampu membayar belis yang diminta oleh pihak wanita. 4. Menimbulkan utang piutang. Jika belis yang diminta oleh pihak wanita tidak dapat dipenuhi oleh pihak pria maka akan menjadi utang dan bisa jadi pihak pria berutang pada pihak lain untuk dapat membayar belis yang diminta oleh pihak wanita.
Apa yang diungkapkan oleh Ulfa di atas, sesungguhnya telah mengcaounter makna sakralitas yang melekat pada belis yang selama ini diasumsikan oleh para pendukung budaya patriarki sebagai tindakan memproteksi hak dan sisi kemanusiaan dari kaum perempuan.
Dengan melihat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya "belis", maka generasi Lamaholot sudah saatnya mengubur warisan patriarkal ini ke dalam liang lahat peradaban budaya kita. Mempertahankan belis sebagai warisan budaya, sama halnya kita mengokohkan hegemoni dan superiaritas kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dan ikut membenarkan pendapat hipokrates bahwa kaum perempuan adalah jenis janin yang lemah dan wajar untuk dieksploitasi.