About Me

header ads

Refleksi Paradigma Pembelajaran

Oleh : Suhardi Koda 
Anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Alor (HIPMA) - Yogyakarta


Hari Guru Nasional (HGN) 2021 yang ditetapkan berdasar hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November, terdapat beberapa catatan kritis yang dapat dikemukakan. Catatan itu berupa kemajuan maupun hal-hal yang perlu diperbaiki. Tujuannya agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu bahwa pendidikan di Indonesia jalan di tempat. 


Selama ini terdapat potensi bahaya yang tersimpan cukup lama, namun tidak kita sadari. Yaitu, pendidikan di Indonesia mengalami stagnasi dalam segi kualitas selama kurang lebih dua dekade terakhir. Semakin lama kualitas pendidikan Indonesia tidak semakin baik. Hal itu terlihat dari berbagai ukuran penilaian kemajuan pendidikan dan daya saing bangsa secara internasional, misalnya dilihat dari skor PISA dan TIMMS


Apa yang salah dalam dunia pendidikan kita? Sering kali guru dipersalahkan dalam situasi ini. Padahal, sebenarnya guru adalah ujung tombak bagi kita untuk melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Karena itu, perannya harus diperkuat, diberdayakan, dan diberi otonomi. Jangan sampai, kalau ada persoalan pendidikan, seolah-olah guru menanggung beban itu sendirian. Beberapa dekade terakhir ini, para guru kita sebenarnya sudah melakukan banyak inovasi dan berbagai upaya terobosan yang kreatif. 


Pandemi Covid-19 memang berdampak luas terhadap dunia pendidikan secara global, termasuk di Indonesia. Pandemi ini dapat dijadikan stepping stone atau titik anjak untuk menjadikan Indonesia maju. Dari berbagai catatan diskusi pendidikan selama ini, akibat pandemi Covid-19, seluruh sektor kehidupan porak-poranda, termasuk pendidikan. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dalam lamannya en.unesco.org memperkirakan lebih dari 100 juta anak di seluruh dunia akan jatuh di bawah tingkat kemahiran membaca minimum akibat pandemi. 


Di Indonesia, setelah kasus pertama Covid-19 ditemukan pada 2 Maret 2020, tidak kurang dari 45,5 juta peserta didik tidak bisa mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM). Berdasar data Kemendikbudristek, mereka terdiri atas 25,2 juta siswa SD, 10,1 juta siswa SMP, 4,9 juta siswa SMA, dan 5,2 juta siswa SMK. Jika ditambah dengan peserta didik setingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) serta jenjang pendidikan keagamaan, jumlahnya sekitar 68 juta. Jumlah tersebut sekitar 5,44 persen dari 1,25 miliar siswa di seluruh dunia yang tidak bisa mengikuti PTM. 


Hikmah yang dapat kita petik akibat pandemi ini antara lain meningkatnya kesadaran hidup sehat di kalangan siswa, guru, orang tua, dan para pemangku kepentingan. Selain itu meningkatnya kesadaran di kalangan siswa untuk belajar secara mandiri meskipun banyak kekurangan yang dihadapi. Juga meningkatnya gairah para guru untuk belajar teknologi pembelajaran secara masif. 


Belajar mandiri adalah tipikal belajar di abad ke-21. Siswa dapat belajar dari berbagai sumber, belajar di mana saja tidak terbatas ruang dan waktu, serta guru berperan sebagai fasilitator. Terjadi perubahan paradigma dalam pembelajaran. 

 
Ekosistem pendidikan juga mengalami perubahan. Seusai Covid-19, paradigma pembelajaran kita tidak akan kembali lagi seperti masa sebelum pandemi. Bauran pembelajaran (blending learning) daring dan luring akan menjadi pilihan yang tepat dan efektif. PTM terbatas (PTMT) yang saat ini diberlakukan dapat dijadikan point of departure atau titik berangkat. Karena itu, ada beberapa rekomendasi dari PGRI terkait hal tersebut. 


Kurikulum yang dinamis sebagai lokomotif perubahan pembelajaran. Perlu adanya transformasi kurikulum tanpa kita sibuk berpikir untuk selalu mengubah kurikulum. Kita harus memikirkan ulang atau merevitalisasi delapan standar nasional pendidikan (SNP). Apakah semua delapan SNP itu masih relevan dalam situasi saat ini. Dalam pandangan kritis PGRI, diperlukan empat standar yang relevan untuk pendidikan yang selaras dengan tuntutan pembelajaran yang mendorong siswa belajar mandiri dan peran guru sebagai fasilitator. Yaitu, pertama, standar tentang kompetensi siswa yang dahulu dikenal dengan standar kompetensi kelulusan. Kedua, standar isi. Ketiga, standar pendidik. Keempat, standar pembelajaran berbasis teknologi. 


Standar kompetensi siswa dikaji kembali dan disesuaikan dengan karakteristik kemandirian siswa agar menjadi pribadi mandiri dan berkarakter. Kiranya dibuat standar kompetensi siswa dengan rumusan yang tidak terlalu akademis, namun mengandung kecakapan akademik, kecakapan hidup, dan karakter. 


Standar isi secara sederhana mengandung makna bahwa konten materi pelajaran bukan terdiri atas susunan mata pelajaran yang berat seperti selama ini. Isi kurikulum itu harus berisi hal-hal yang mendorong anak didik belajar secara mandiri, kolaboratif, berpikir kritis, dan berorientasi pada pemecahan masalah. 


Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Anak dapat belajar materi pelajaran di rumah, di mana saja, dan dari mana saja. Kelas menjadi ruang untuk mendiskusikan dan memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut secara bersama-sama. Model demikian dikenal sebagai flipped classroom.


Standar kompetensi pendidik perlu dikaji kembali dan dirumuskan secara khusus, terutama perlunya merumuskan standar kinerja guru. Saatnya para pendidik tidak hanya dibebani dengan capaian kurikulum. Tetapi, bagaimana para pendidik dapat memfasilitasi dan mendorong anak didik untuk belajar, mengubah dirinya sebagai pemimpin pembelajaran (learning manager) yang mendorong anak didik melakukan eksplorasi dan menemukan kesenangan belajar. 


Terakhir, kompetensi teknologi pembelajaran tak sekadar menggunakan teknologi pembelajaran. Tetapi, pola pengajarannya tidak berubah. Teknologi pembelajaran merupakan media untuk melibatkan siswa dalam belajar, merumuskan bersama pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. 


Di sisi lain, pemerintah wajib menyiapkan infrastruktur teknologi. Saatnya pemerintah memperkecil kesenjangan penggunaan teknologi di seluruh daerah di Indonesia. Di era pascapandemi, pembelajaran bauran daring dan luring menjadi pilihan yang harus dilakukan. Sebab, kita tidak akan kembali ke situasi pembelajaran sebelum masa pandemi. Teknologi akan mendorong percepatan dan mempercepat terjadinya perubahan. Kalau tidak, kita akan terjebak kembali dalam hal-hal yang bersifat administratif dalam proses pembelajaran. 


Pemerintah harus berani melakukan deregulasi mengenai pemenuhan kewajiban mengajar guru sebanyak 24 jam pelajaran. Apakah pemenuhan kewajiban tersebut masih relevan dalam situasi seperti saat ini. Guru harus tetap bisa mendapatkan hak-haknya meski secara administratif tidak memenuhi 24 jam pelajaran. Faktanya, beban kerja guru semakin bertambah di era pandemi ini. Misalnya, mereka harus menyiapkan pembelajaran daring dan luring. 



Terakhir, memberikan otonomi kepada sekolah. Pada dasarnya, semua hal tersebut tidak dapat dilakukan apabila sekolah tidak otonom. Sekolah perlu diberi keleluasaan. Pemerintah hanya menyiapkan norma, acuan, dan kriteria, sedangkan yang mendesain dan melaksanakan adalah para guru di sekolah. Guru mengajar sesuai dengan situasi dan sumber daya yang dimiliki sekolah masing-masing. 


Pikiran sederhana ini saya tuliskan sebagai sebuah catatan analisa saya terhadap kemajuan pendidikan indonesia. Bukankah pendidikan yang berkualitas, adil, dan merata adalah kepentingan bagi kita semua? (*) 


Dan saya ucapkan sekali Lagi "Selamat Hari Guru Nasional"